Rabu, 28 September 2011

INCREASE CREW BERBAGI CERITA OENIF DENGAN KITA ...(2)


Perjalanan Melintasi Alam
( Oleh : Rusty Rambu – PO Training Increase )

Desa oenif terletak di wilayah perbukitan dan hutan cemara dengan jarak 3,5 km dari kota kecamatan Nekamese, dengan lama tepuh ±25 menit.  Perjalanan untuk sampai ke desa Oenif, kita akan menyaksikan berbagai pemandangan yang indah dan menarik, melewati bukit, padang yang luas tempat sapi, kambing dan binatang peliharaan lain akan merumput. Ada bukit-bukit kecil yang banyak di tumbuhi pohon-pohon cemara.
Nama desa Oenif merupakan gabungan dari 3 nama kampung yang di satukan yakni Oekona, Nilopon dan Panaf (Oe : Oekona, Ni : Nilopon dan F : Panaf). Mayoritas masyarakat Oenif bekerja sebagai petani  dan peternak yang didukung oleh potensi dan struktur  alam yang di miliki. Berjalan-jalan mengelilingi perkampungan di desa Oenif, akan tampak wajah desa yang kering, tidak memiliki sumber air bersih. Kondisi jalan masuk ke desa sedikit memprihatinkan karena sebagian besar jalan tidak beraspal (jalan tanah), sebagaian lagi merupakan hasil rabatan beton dan sebagaiannya beraspal tetapi sudah rusak. Bangunan rumah perkampungan cukup bervariasi. Ada rumah batu-permanent beratapkan seng dan rumah bebak yang beratapkan daun, dengan pekarangan rumah yang cukup luas. Pekarangan tersebut merupakan lahan potensial untuk aktivitas pertanian akan tetapi belum  dimanfaatkan. Untuk penerangan hampir sebagian besar sudah memanfaatkan jasa PLN. Dan ada beberapa kepala keluarga ( ± 60 KK) menggunakan listrik tenaga surya  yang merupakan bantuan dari pihak Gereja setempat.
  Halaman atau pekarangan rumah masyarakat banyak  ditanami tanaman jangka panjang yang terdiri dari Pohon kelapa, Pohon Asam, Pohon Jeruk, Pohon Nangka. Sebagian  halaman /pekarangan rumah juga dimanfaatkan untuk memelihara sapi dan babi. Sedangkan untuk pengolahan tanaman pertanian jangka pendek tidak di tanam di sekitar pekarangan rumah, tetapi memanfaatkan lahan di tempat lain atau di kebun yang sedikit jauh dari area perkampungan.                 
 Sistem pengolahan pertanian dan perkebunan masih tradisional dengan menggunakan tenaga manusia. Untuk membuka lahan baru, para petani mulai dengan membersihkan rumput kemudian didiamkan sampai benar-benar kering, yang untuk selanjutnya dibakar.
Sementara sistem beternak dengan pola berpindah-pindah. Ini dilakukan mengingat persediaan pakan ternak yang semuanya tergantung dari alam. Sumber pakan ternak antara lain dari pohon lamtora. Selain itu juga masyarakat memanfaatkan putak atau pohon lontar yang sudah tua. Satu batang putak bisa mencukupi kebutuhan makan untuk 4 ekor sapi, 20 ekor kambing dan 4 ekor babi selama 3 minggu. Pohon yang diambil untuk pakan ternak tidak sembarang pohon. Ciri-ciri pohon yang layak diambil antara lain pelepah pohonnya sudah kering dan jatuh atau pelepahnya sudah terlepas  dari batang pohon.
Sepanjang perjalanan masyarakat sudah mulai membuka lahan baru untuk berkebun. Kayu-kayu yang ditebang dimanfaatkan untuk kayu bakar  dan selanjutnya di jual ke kota .
Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemanfaatan fasilitas kesehatan sangat tinggi. Sekarang apabila ada masyarakat yang sakit lebih banyak berobat ke rumah sakit atau puskesmas. Suatu keistimewaan khusunya seorang ibu yang melahirkan selalu mendapat ucapan selamat dari keluarga dan  tetangga. Mereka pada umumnya membawa serta beras 1-2 kg untuk makan bersama. Kebiasaan juga untuk ibu yang melahirkan di panggang selama 4 hari 4 malam. Selama proses ini ibu tidak diperbolehkan keluar rumah.  Sedangkan bayi selama masa ini di urus oleh keluarga. Untuk upacara panggang ini menggunakan kayu kusambi yang di siapkan 4 bulan sebelum ibu melahirkan. Ibu dan bayi tidur di atas tempat tidur setinggi 75 cm dari api yang ditempatkan di bawa kolong tempat tidur. Tujuan dari acara ini adalah agar ibu kembali kuat, sehingga bisa bekerja dengan normal seperti biasanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga mempunyai kebiasaan untuk saling membantu atara laki-laki dan perempuan walaupun beban kerja lebih banyak oleh kaum perempuan. Aktivitas rutin harian kaum laki-laki adalah mengambil pakan ternak, sedangkan kaum perempuan selain mengurus kehidupan rumah tangga juga membantu kaum laki-laki ke kebun atau membantu mengambil pakan ternak. Apabila bapak sedang bepergian jauh aktivitas mengambil pakan ternak menjadi tanggung jawab kaum ibu. Sedangkan dalam hal berkebun kaum laki-laki bertanggung jawab dalam menebang pohon-pohon sedangkan ibu-ibu berperan dalam membakar ranting-ranting yang sudah mongering. 
Di Oenif sumber-sumber mata air cukup jauh dari pemukiman masyarakat. Sumber-sumber mata air tersebut berada di bawah kaki gunung yang oleh masyarakat disebut Legong. Salah satu sumber mata air yang terkenal adalah mata air oekona. Oekona sangat menarik karena mata airnya berada di diantara batu-batu yang terletak di tengah-tengah hutan kecil. Sumber mata air ini tidak pernak kering sepanjang tahun. Akan tetapi sangat disayangkan karena air dan lingkungan sekitarnya sangat kotor dan di tutupi oleh daun-daun kering serta ranting-ranting pohon. Sekitar 2 tahun yang lalu masyarakt masih memanfaatkan mata air ini.

BERBAGI CERITA ARUMONOSAGASHI  DAN JIMOTOGAKU
( Oleh Berti Malingara : FO Increase )

Istilah Arumonosagashi dan jimotogaku mungkin asing bagi kita sebagai orang asli Indonesia. Namun kenyataannya hal ini mungkin pernah kita lakukan entah secara sadar ataupun tidak sadar. Jimotogaku sendiri sebenarnya tidak punya metode tertentu yang baku. Semua orang bisa melakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keinginannya, karena Jimotogaku merupakan praktek pembelajaran dari masyarakat lokal dengan senang. Tertarik dengan Arumonosagashi dan Jimotogaku??? Mari sama-sama melihat sedikit pengalaman pribadi saya bersama teman-teman Increase di desa Oenif.
Hari itu, Kamis 19 Mei 2011 di desa Oenif, dengan mengendarai sepeda motor Tim Increase yang terdiri dari Pak Yan Ghewa, Stenli Fangidae, Yeny Seran, Feny Neo, Yesli Siki, Erna dan Berty Malingara tiba di kantor desa Oenif. Kami bertemu dengan kepala desa, Sekretaris desa dan 2 orang KAUR desa Oenif. Kami berkenalan singkat sambil langsung melihat peta desa yang dipasang di dinding tembok kantor desa Oenif. Kami mulai menanyakan letak/ lokasi dusun-dusun yang ada di Desa Oenif sambil menanyakan sejarah nama desa Oenif. Menurut kepala desa Oenif, nama desa Oenif itu berasal dari nama tiga kampong yaitu Oekona, Nilopon dan Panaf. Kami memohon ijin kepala desa untuk berjalan-jalan di desa Oenif dan ditemani oleh seorang KAUR Umum (Bapak Abed Silli).  Dalam Jimomogaku, Pak Abed yang merupakan masyarakat setempat diibaratkan dengan BUMI dan Kami dari Increase yang adalah pendatang diibaratkan dengan ANGIN. BUMI dan ANGIN berjalan bersama. Kami berjalan berkeliling sambil melihat, mendengar, mencatat, memotret dan merekam. Tim Increase telah melakukan pembagian tugas dimana Pak Yan yang banyak melakukan percakapan dengan Pak Abed Sili, Yeny seran sebagai pencatat, Yesli sebagai perekam suara dengan menggunakan HP, Berti malingara sebagai perekam video, Stenli Fangidae sebagai pemotret, Feny Neno dan Erna sebagai pengamat.

Kisah Perjalanan
Pertama, yang kami temui dan lihat secara langsung adalah Pohon Mahoni. Menurut informasi pak Abed, Pohon Mahoni ini bukan pohon asli desa Oenif tetapi merupakan tanaman yang diberikan oleh dinas kehutanan untuk ditanam di desa Oenif. Kegunaan dari pohon ini adalah kayunya digunakan untuk membuat rumah. Buahnya pernah dicelup dalam air dan ternyata airnya terasa pahit sehingga tidak bisa dimakan.
Kedua, adalah pohon  Kabesak. Menurut informasi, Pohon Kabesak ini tumbuh sendiri, tidak ditanam dan dalam jumlah banyak di desa Oenif. Kegunaan pohon kabesak antara lain: daunnya untuk pakan ternak, batangnya bisa dipakai untuk tiang rumah.
Ketiga, Bak Air. Menurut pak Abed, Bak tersebut merupakan bantuan dari orang jawa yang peduli dengan masyarakat desa Oenif. Sumber air dari bak tersebut adalah dari embung yang dipakai untuk disalurkan ke PAUD.
Keempat, Embung Oelneno yang letaknya 300 meter dari kantor desa. Embung ini adalah bantuan dari Kabupaten Kupang tahun 2004 dengan tenaga surya dengan kedalaman sekitar 2 meter. Embung ini tidak pernah kering dan digunakan oleh kelima dusun yang ada di Oenif  untuk mandi, cuci, masak. Pada musim penghujan embung penuh sehingga warga juga memanfaatkannya untuk menyirami sayuran. Pada bulan juli air embung agak berkurang tetapi tidak pernah sampai kering. Masyarakat tidak diperbolehkan mandi, mencuci dan mengotori air embung. Dengan adanya embung masyarakat sudah tidak lagi kesulitan atau harus antri panjang untuk mendapatkan air. Di dalam embung juga terdapat ikan tetapi  pemerintah desa melarang warganya untuk memancing karena dikhawatirkan akan mencemari air embung.
Kelima, Pohon Pinus atau dalam bahasa orang Oenif disebut Pohon Kasuari yang terletak di sekitar danau. Kegunaan kayu dari Pohon ini adalah untuk membuat kap rumah. Pak Abed dengan bangga menambahkan bahwa kap kantor desa itu menggunakan kayu kasuari milik masyarakat sehingga bisa dikatakan masyarakat ikut membangun kantor desa.
Keenam, Pohon Bunik/ Nikis dan Kabatek.  Kabatek adalah kepopong yang menempel di pohon bunik yang biasa dimakan masyarakat dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit demam, panas dalam dan bibir pecah-pecah/ luka. Prosenya adalah dengan cara dipotong, bakar untuk kemudian dimakan.
Ketujuh, kayu kapok hutan biasa dipakai untuk kayu Gordin sebagai penyangga atap seng.
Kedelapan, pohon hau masi yang artinya pohon asin yang dipercaya dapat menyembuhkan sakit mata pada ternak. Caranya adalah daun masi dipetik pada musim hujan, kemudian dicampur dengan garam, dikunyah lalu disemburkan pada mata ternak yang sakit. Rasa dari daun ini adalah asam dan sedikit asin. Selain itu batangnya bisa juga dimanfaatkan untuk tiang rumah.
Kesembilan, tanaman bernama Atfanib yang dipercaya oleh masyarakat Oenif dapat menyembuhkan tulang keseleo. Akarnya diambil, dibersihkan dan dikunyah untuk kemudian disemburkan pada bagian tulang yang keseleo. Di tempat asalnya pak Yan, daun dari atfanib ini juga digunakan untuk menghentikan perdarahan dan berfungsi sebagai yodium/ alcohol serta mencegah infeksi pada luka. Pak Abed juga menambahkan ada pohon gala-gala yang juga dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan pada luka.
 Sepuluh, tanaman  Akotkotos yang daunnya digunakan untuk pakan ternak. Selain itu juga kami temukan pohon kayu cendana.
 Keduabelas, Pohon Nukbae yang berfungsi seperti gips yang biasa digunakan di rumah sakit. Sifat  buahnya adalah lengket. Apabila buahnya sudah matang pertanda hujan akan segera turun sehingga selalu mempersiapkan warga untuk musim tanam. Daun, buah dan akar dari pohon ini tidak dimanfaatkan masyarakat.
Ketigabelas, sumur berusia 11 tahun milik bapak Neno yang dibuat sendiri oleh keluarga Neno. Kami bertemu dengan bapak Neno dan bercakap-cakap dengan beliau. Menurut informasi dari bapak Neno, Kedalaman sumur 15 meter. Sumur ini hanya merupakan satu-satunya sumur yang ada di Oenif.  Hampir semua masyarakat memanfaatkan air dari embung.
 Keempatbelas, Pohon berusia 35 tahun. Pohon ini pada tahun 1980 jumlahnya hanya 4 batang pohon yang dibeli dengan harga 15.000 per anakan. Sekarang sudah sangat banyak di Oenif.
Kelimabelas, hutan bambu yang ditanam masyarakat dan biasanya dijual ke kupang. Pak Yan menambahkan kalau di flores bambo jenis ini dipakai untuk anyam tas dan topi karena teksturnya sangat lembut.
Keenambelas, Sapi. Sapi di Oenif biasa dijual dengan harga antara 5 juta sampai 10 juta. Untuk mencapai harga tersebut umur sapi harus mencapai belasan kali paron. Semenjak masih ada biogas, kotorannya dimanfaatkan untuk biogas. Akan tetapi karena prosesnya yang lebih rumit, masyarakat lebih senang menggunakan kayu api.
Kami menemui pula dengan seorang bapak yang pernah menjadi kepala dusun di Desa Oenif. Kami diajak untuk menikmati air kelapa muda sekedar melepaskan dahaga sekaligus menambah energy yang sudah terkuras habis. Kemudian akhirnya kami berpamitan untuk kembali ke kupang. Demikian cerita perjalanan kami di desa Oenif  yang sangat menyenangkan.

Reflectio Arumonosagashi dan jimotogaku
  • Yang dilihat oleh Mata
Orang-orang yang kami temui ( Kades, Sekdes, Kaur, Warga yang kami temui), kantor desa, peta desa, rumah-rumah warga desa Oenif, pohon Mahoni, pohon Kabesak, bak air, embong Oelneno, pohon Pinus/ kasuari, pohon Bunik/Nikis dan Kabate, Kapok hutan, pohon/ kayu asin atau Hau Masi’, tanaman Atfanib, pohon Akotkotos, pohon/ kayu Cendana, pohon Nukbae, sumur Pak Neno, pohon yang berusia 35 tahun, hutan bamboo, Sapi, kotoran Sapi sebagai tanah humus, kebun dan mamar, rumah Pak Abed, pohon kelapa Pak Abed, buah Kelapa Pak Abed, Keluarga Pak Abed (Istri dan anak-anak)
  • Yang didengar oleh telinga 
Suara orang-orang yang kami temui,  yang kami ajak bicara (Kades, Kaur, Sekdes, warga Desa Oenif ), suara Tim Increase, suara kicauan burung, suara sensor kayu, suara daun-daun yang bergerak, suara langkah kaki, suara sapi, suara pohon bambo yang ditiup angin, suara air, suara kendaraan di desa (motor dan Pick up), suara nyanyian dari bapak mantan dusun.
  • Yang dirasakan oleh lidah
 Daun pohon Masi’, rasanya asam dan sedikit asin, daun tanaman Atfanib, rasanya pahit seperti daun papaya, air buah Kelapa yang rasanya manis dan buahnya yang lembut serta enak
  • Yang dicium oleh hidung
 Udara segar yang bebas polusi, bau tanah, bau tanaman, bau kotoran ternak
  • Yang dirasakan oleh kulit
 Udara panas ketika berjalan, udara sejuk ketika berada dekat embung   dan pepohonan.
  • Yang dirasakan oleh perasaan
Sedikit capek tapi sangat senan
  • Persiapan yang dibutuhkan
 Kesehatan yang prima untuk berjalan kaki, bergembira, kosongkan pikiran, menciptakan suasana yang bersahabat dengan masyarakat setempat, mengajak satu/ beberapa  orang dari masyarakat setempat, pembagian peran tim Increase, buku/ kertas, bolpoin, perekam suara (MP4/ HP), kamera digital, handycam, sepatu dan tongkat.

Pesan dan Kesan : Sebuah Kesimpulan 
  1. Desa Oenif memiliki banyak kekayaan sosio cultural: orang-orang, budaya, tradisi, sejarah, adat istiadat, kearifan lokal (obat-obat tradisional), embung, sumur, hutan yang perlu dilestarian dan perlu dibanggakan
  2. Kami orang luar kagum dengan semua yang ada di desa Oenif. 
  3. Desa Oenif adalah desa yang kaya dalam sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
  4. Orang Oenif mampu bertahan dan menolong diri sendiri dengan kekayaan alam yang ada dalam desa.
  5. Pengalaman Arumonosagashi memotivasi saya untuk bisa melakukan jimotogaku bersama dengan masyarakat Oelomin dan Oesena.
  6. sebagai orang luar, awalnya capek tapi ketika bertemu dengan masyarakat setempat yang bersahabat dan bergembira membuat semua rasa capek saya hilang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar